hanya istilah seni bukan estetika

Jumat, Mei 18, 2012

Suatu Ketika Kunjungan ke ISI Yogya 1998

Siang ini… hm, sepertinya telah beranjak sore, walau di luar cuaca cerah, panas dan angin terasa semilir menyibak-nyibak gorden hijau di kamarku ini. Di luar sana kencang terdengar suara music dangdut yang campur aduk dengan suara pengajian, sungguh ‘kontemporer’. He he he … Niatku 4 hari ini adalah menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Menulis berbagai telaah pada beberapa seniman. Ya, sambil menulis kesana kemari, sambil browsing internet yang gak jelas, sambil juga mendengarkan ‘Unstoppable Marriage’ yang terus menderu di media player, sambil juga kadang rebahan dan meneguk kopi yang telah semutan sekarang. Tumpukan buku di sebelah ‘dampar’ laptopku ini makin menggunung dan makin menggunung. Bahkan kalo aku kebelet pingin ke toilet sampai tersandung-sandung buku-buku itu. Kesemuanya bercampur selimut yang tak sempat aku lipat apalagi bantal-bantal yang ready to use untuk ‘ngleset’. Aku bingung antara pilihan kajian perupa Entang Wiharso, S.Teddy D, atau Bob Sick untuk tugas psikologi seni. Wimo Ambala Bayang telah aku pilih untuk tugas semiotika. Sambil memilah-milah dan memikir-mikir kubuat beberapa file serupa yang memiliki judul berbeda antara ketiganya. Sementara dalam tumpukan buku teratas adalah buku ‘Menanam Padi di Langit’nya Puthut EA, Outlet dan Exploring Vacuumnya Cemeti. Entang Wiharso ini menurutku sangat menarik, tapi aku tak punya referensi. Hanya mengandalkan beberapa catalog dan Visual Art, kurasa kurang. Hm, sambil incubasi ide, kulanjutkan menikmati cerita Wang Ki Baek dan Go Mi Ho yang lucu banget. Kesenanganku memang itu, apapaun cemoohan orang. Sambil senyum-senyum aku rebahan lagi. Punggungku rasanya melengkung sejak pagi duduk mengetik. Sambil kuraih Menanam Padi di Langit dan mulai mengamati berbagai sepak terjang para ‘Gobloger’ dari ISI tersebut. Sambil membaca ingatanku melayang pada 1998 beberapa tahun lalu saat aku masih kuliah di Malang dan harus jadi delegasi ‘aneh’ untuk menjalin persahabatan antar mahasiswa seni rupa di ISI Yogya. Rencana waktu itu ingin menjalin persahabatan antar mahasiswa seni rupa se-Indonesia dengan membentuk Forum Komunikasi Mahasiswa Seni Rupa Indonesia. Situasinya persis seperti yang diceritakan dalam buku Puthut EA tersebut. Bagaimana tidak? Masih segar dalam ingatanku kesan kampus ISI saat itu, saat itu masih baru lho yang di Jl. Parangtritis, tapi sudah penuh dengan berbagai mural illegal dan graffiti neurotic yang mengekspose genital laki-laki di manapun. Ya, di manapun. Bahkan di meja-meja dan kursi-kursi kantin. Pemandangan yang biasa. Sepertinya hari itu pagi hari, aku dan seorang teman melaju dengan Honda 80-an pinjaman dari family di Condong Catur, melaju menuju ISI untuk bertemu dengan beberapa teman. Hari itu hari Jumat. Tanggalnya lupa. Saat itu dimanapun telah terjadi euphoria demonstrasi 98 (Kalau tak salah saat itu baru terdengar kabar rekan dari Trisakti ada yang tewas). Yang kuingat hari itu ada aksi para mahasiswa ISI untuk bagi-bagi caping pada masyarakat sebagai aksi solidaritas. Caping dibagi-bagiakan di tengah jalan. Aku juga ditawari, tapi aku menolak dan memutuskan menjadi pengamat saja dari jauh saja. Kan di Malang juga ada long march berarak dan orasi di depan rektorat beberapa waktu sebelumnya. Ketika aksi itulah ada sebuah kejadian unik. Tiba-tiba hujan turun deras dan caping berhasil dipakai sebagai pelindung kepala. Namun yang terjadi para mahasiswa justru berlarian masuk kampus dan berlindung dari hujan. Dan aksi pun terhenti. Yang menarik adalah saat itu ada seorang tukang becak lewat tanpa memakai caping dan menembus hujan. Kurasa akan tepat jika saat itu diberi caping, namun para ‘demonstran’ ini terlanjur ngiyup. Lalu tanpa sadar aku menyetuk, ‘Wah, kok kalah militan dengan tukang becak!” entah aku ini sedang sengaja nyemoni atau memang sengaja. Tapi teman-teman yang tak mengenalku itupun tak menggubrisku. Yah, memang saat itu para teman ISI memang juga berasal dari berbagai lapisan bumi, terdiri dari berbagai layer kasta. Aku maklum. Yang kuingat saat itu semua aksi yang nekad pasti dijampi-jampi dengan ‘koplo’ atau berbagai ramuan ‘mushroom’ yang menjadi amuisi vitamin penambah keberanian. Dari serpihan-serpihan ingatanku, berbagai ‘pil’ dan ‘mushroom’ tersebut ketika itu identik sebagai pemanggih roh unconsciousness yang bisa menghadirkan daya kreatifitas yang transenden. Tak hanya di ISI yang menurut S.Teddy D dkk tergabung dalam Forum Adu Goblog, di Malang ketika era awal 1990an juga ada kelompok IQ-R yang identik dengan IP satu koma, identik dengan mabuk, identik dengan gimbal, identik dengan kumel, identik dengan kekacauan, idetik dengan perilaku neurotic. Namun memang tak disangkal dalam berkarya mereka sangat produktif. Begitupun cerita S. Teddy D dkk… So, well… Akhirnya siapa yang akan kupilih sebagai kajian? #@$%^&*()_*&^%$%$#^%^&*(*^%$#^&*^(&)).....^__^ NB: Bagi siapapun yang baca dan sempat mengalami masa di ISI saat itu… peace!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar